6 Bangunan Paling Bersejarah di Kota Bandung

Senin, 03 Maret 2014 0 komentar
Bandung memang dikenal sebagai kota yang memiliki banyak bangunan bersejarah. Setidaknya terdapat 6 bangunan antik nan penting di kota ini. Yuk, susuri satu-satu warisan bersejarah di Kota Bandung!

Kekayaan bangunan bersejarah yang ada, membuat Bandung menjadi kota wisata yang tidak pernah habis untuk dijelajahi. Banyak peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan kemerdekaan Indonesia terjadi di kota ini.

Alangkah sayangnya jika sejarah tersebut dilupakan begitu saja, sebab di balik bangunan tua yang ada di Bandung tersimpan destinasi wisata yang sayang untuk ditinggalkan. Disusun oleh detikTravel, Kamis (7/6/2012), berikut adalah 6 bangunan bersejarah yang wajib Anda kunjungi saat berada di Kota Bandung:

1. Gedung Sate

Gedung Sate, dengan ciri khasnya berupa ornamen tusuk sate pada menara sentralnya, telah lama menjadi penanda atau markah tanah Kota Bandung yang tidak saja dikenal masyarakat di Jawa Barat, namun juga seluruh Indonesia bahkan model bangunan itu dijadikan pertanda bagi beberapa bangunan dan tanda-tanda kota di Jawa Barat. Misalnya bentuk gedung bagian depan Stasiun Kereta Api Tasikmalaya. Mulai dibangun tahun 1920, gedung berwarna putih ini masih berdiri kokoh namun anggun dan kini berfungsi sebagai gedung pusat pemerintahan Jawa Barat.

Gedung Sate yang pada masa Hindia Belanda itu disebut Gouvernements Bedrijven (GB), peletakan batu pertama dilakukan oleh Johanna Catherina Coops, puteri sulung Walikota Bandung, B. Coops dan Petronella Roelofsen, mewakili Gubernur Jenderal di Batavia, J.P. Graaf van Limburg Stirum pada tanggal 27 Juli 1920, merupakan hasil perencanaan sebuah tim yang terdiri dari Ir.J.Gerber, arsitek muda kenamaan lulusan Fakultas Teknik Delft Nederland, Ir. Eh. De Roo dan Ir. G. Hendriks serta pihak Gemeente van Bandoeng, diketuai Kol. Pur. VL. Slors dengan melibatkan 2000 pekerja, 150 orang diantaranya pemahat, atau ahli bongpay pengukir batu nisan dan pengukir kayu berkebangsaan Cina yang berasal dari Konghu atau Kanton, dibantu tukang batu, kuli aduk dan peladen yang berasal dari penduduk Kampung Sekeloa, Kampung Coblong Dago, Kampung Gandok dan Kampung Cibarengkok, yang sebelumnya mereka menggarap Gedong Sirap (Kampus ITB) dan Gedong Papak (Balai Kota Bandung).
Gedung Sate (ca.1920-28)

Selama kurun waktu 4 tahun pada bulan September 1924 berhasil diselesaikan pembangunan induk bangunan utama Gouverments Bedrijven, termasuk kantor pusat PTT (Pos, Telepon dan Telegraf dan Perpustakaan.

Arsitektur Gedung Sate merupakan hasil karya arsitek Ir. J.Gerber dan kelompoknya yang tidak terlepas dari masukan maestro arsitek Belanda Dr.Hendrik Petrus Berlage, yang bernuansakan wajah arsitektur tradisional Nusantara.

Banyak kalangan arsitek dan ahli bangunan menyatakan Gedung Sate adalah bangunan monumental yang anggun mempesona dengan gaya arsitektur unik mengarah kepada bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa, (Indo Europeeschen architectuur stijl), sehingga tidak mustahil bila keanggunan Candi Borobudur ikut mewarnai Gedung Sate.



2. Gedung Merdeka

Bangunan ini pertama kali dibangun pada tahun 1895 dan dinamakan Sociëteit Concordia, dan pada tahun 1926 bangunan ini direnovasi seluruhnya oleh Wolff Schoemacher, Aalbers dan Van Gallen.[2] Gedung Sociëteit Concordia dipergunakan sebagai tempat rekreasi dan sosialisasi oleh sekelompok masyarakat Belanda yang berdomisili di kota Bandung dan sekitarnya. Mereka adalah para pegawai perkebunan, perwira, pembesar, pengusaha, dan kalangan lain yang cukup kaya. Pada hari libur, terutama malam hari, gedung ini dipenuhi oleh mereka untuk berdansa, menonton pertunjukan kesenian, atau makan malam.

Pada masa pendudukan Jepang gedung ini dinamakan Dai Toa Kaman dengan fungsinya sebagai pusat kebudayaan.

Pada masa proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 gedung ini digunakan sebagai markas pemuda Indonesia guna menghadapi tentara Jepang yang pada waktu itu enggan menyerahkan kekuasaannya kepada Indonesia.

Setelah pemerintahan Indonesia mulai terbentuk (1946 - 1950) yang ditandai oleh adanya pemerintahan Haminte Bandung, Negara Pasundan, dan Recomba Jawa Barat, Gedung Concordia dipergunakan lagi sebagai gedung pertemuan umum. disini biasa diselenggarakan pertunjukan kesenian, pesta, restoran, dan pertemuan umum lainnya.

Dengan keputusan pemerintah Republik Indonesia (1954) yang menetapkan Kota Bandung sebagai tempat Konferensi Asia Afrika, maka Gedung Concordia terpilih sebagai tempat konferensi tersebut. Pada saat itu Gedung Concordia adalah gedung tempat pertemuan yang paling besar dan paling megah di Kota Bandung . Dan lokasi nya pun sangat strategis di tengah-tengah Kota Bandung serta dan dekat dengan hotel terbaik di kota ini, yaitu Hotel Savoy Homann dan Hotel Preanger

Dan mulai awal tahun 1955 Gedung ini dipugar dan disesuaikan kebutuhannya sebagai tempat konferensi bertaraf International, dan pembangunannya ditangani oleh Jawatan Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Barat yang dimpimpin oleh Ir. R. Srigati Santoso, dan pelaksana pemugarannya adalah : 1) Biro Ksatria, di bawah pimpinan R. Machdar Prawiradilaga 2) PT. Alico, di bawah pimpinan M.J. Ali 3) PT. AIA, di bawah pimpinan R.M. Madyono

Setelah terbentuk Konstituante Republik Indonesia sebagai hasil pemilihan umum tahun 1955, Gedung Merdeka dijadikan sebagai Gedung Konstituante. Karena Konstituante dipandang gagal dalam melaksanakan tugas utamanya, yaitu menetapkan dasar negara dan undang-undang dasar negara, maka Konstituante itu dibubarkan oleh Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Selanjutnya, Gedung Merdeka dijadikan tempat kegiatan Badan Perancang Nasional dan kemudian menjadi Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang terbentuk tahun 1960. Meskipun fungsi Gedung Merdeka berubah-ubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan yang dialami dalam perjuangan mempertahankan, menata, dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia , nama Gedung Merdeka tetap terpancang pada bagian muka gedung tersebut.



3. Grand Hotel Preanger


Pada tahun 1884, ketika para Priangan planters (pemilik perkebunan di Priangan ) mulai berhasil dalam usaha pertanian dan perkebunan di sekitar kota Bandung - dahulu bernama Priangan - mereka mulai sering datang untuk menginap dan berlibur ke Bandung. Kebutuhan mereka disediakan oleh sebuah toko di Jalan Groote Postweg (sekarang Jalan Asia Afrika). Tetapi kemudian toko itu bangkrut, sehingga pada tahun 1897 oleh seorang Belanda bernama W.H.C. Van Deeterkom toko itu diubah menjadi sebuah hotel dan diberi nama Hotel Preanger Kemudian pada tahun 1920 berubah menjadi Grand Hotel Preanger .

Selama seperempat abad Grand Hotel Preanger yang berarsitektur gaya Indische Empire menjadi kebanggaan orang-orang Belanda di Kota Bandung yang kemudian pada akhirnya direnovasi dan didesain ulang pada tahun 1929 oleh C.P. Wolff Schoemaker dibantu oleh muridnya, Ir. Soekarno (mantan Presiden RI pertama). Namanya kemudian menjadi lebih terkenal, baik di dalam maupun di luar negeri dan menjadi suatu kebanggaan bagi masyarakat pada saat itu bila mereka menginap di hotel tersebut. Grand Preanger mengalami banyak pergantian pengelola, antara lain oleh N.V. Saut, C.V. Haruman, P.D. Kertawisata dan akhirnya pada tahun 1987 hingga kini dikelola oleh PT.Aerowisata.




4. Bosscha

Observatorium Bosscha merupakan salah satu tempat peneropongan bintang tertua di Indonesia. Observatorium Bosscha (dahulu bernama Bosscha Sterrenwacht) dibangun oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda. Observatorium Bosscha berlokasi di Lembang, Jawa Barat, sekitar 15 km di bagian utara Kota Bandung dengan koordinat geografis 107° 36' Bujur Timur dan 6° 49' Lintang Selatan. Tempat ini berdiri di atas tanah seluas 6 hektare, dan berada pada ketinggian 1310 meter di atas permukaan laut atau pada ketinggian 630 m dari dataran tinggi Bandung. Kode observatorium Persatuan Astronomi Internasional untuk observatorium Bosscha adalah 299. Tahun 2004, Observatorium Bosscha dinyatakan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Pemerintah. Karena itu keberadaan Observatorium Bosscha dilindungi oleh UU Nomor 2/1992 tentang Benda Cagar Budaya. Selanjutnya, tahun 2008, Pemerintah menetapkan Observatorium Bosscha sebagai salah satu Objek Vital nasional yang harus diamankan. 




5. Hotel Savoy Homman

Pendahulu hotel ini adalah Hotel Homann, milik keluarga Homann, yang dikenal akan sajian rijsttafel buatan Ibu Homann yang lezat. Pada tahun 1939, bangunan yang sekarang dirancang dengan desain gelombang samudera bergaya art deco karya Albert Aalbers. Untuk menegaskan kebesarannya, kata "Savoy" ditambahkan, yang ditambahkan pada tahun 1940 dan tetap demikian hingga tahun 1980-an. Kemudian dilakukan modifikasi kecil-kecilan (pintu masuk diperbesar, pembuatan toilet di jalan masuk, penambahan AC di depan). Hotel ini memiliki pekarangan dalam (jauh dari jalan raya), dan tamu dapat menikmati sarapan di udara terbuka.

Setelah Kemerdekaan Indonesia, hotel ini diambil alih oleh oleh grup hotel Bidakara, sehingga namanya bertambah menjadi Savoy Homann Bidakara Hotel.
Selain memiliki kamar yang super nyaman, Hotel Savoy Homman memiliki sejarah tersendiri khususnya di Kota Bandung. Bangunannya bergaya art deco dan dibangun pada tahun 1939. Hotel pertama di Bandung ini pernah digunakan sebagai tempat menginap para tamu negara saat Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955. Jadi, bila Anda ingin bermalam di hotel bagai tamu penting negara, menginap saja di Hotel Savoy Homman.
 

6. Villa Isola

Villa Isola adalah bangunan villa yang terletak di kawasan pinggiran utara Kota Bandung. Berlokasi pada tanah tinggi, di sisi kiri jalan menuju Lembang (Jln. Setiabudhi), gedung ini dipakai oleh IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Bandung, yang sekarang menjadi Universitas Pendidikan Indonesia-UPI). Villa Isola adalah salah satu bangunan bergaya arsitektur Art Deco yang banyak dijumpai di Bandung.

Villa Isola dibangun pada tahun 1933, milik seorang hartawan Belanda bernama Dominique Willem Berretty. Kemudian bangunan mewah yang dijadikan rumah tinggal ini dijual dan menjadi bagian dari Hotel Savoy Homann. Perkembangan selanjutnya, ia dijadikan Gedung IKIP (sekarang UPI) dan digunakan sebagai kantor rektorat.

Suatu publikasi khusus pada masa Hindia Belanda untuk villa ini ditulis oleh Ir. W. Leimei, seorang arsitek Belanda. Dalam publikasi ini, Leimei mengatakan bahwa di Batavia ketika urbanisasi mulai terjadi, banyak orang mendirikan villa di pinggiran kota dengan gaya arsitektur klasik tetapi selalu beradaptasi baik dengan alam dan ventilasi, jendela dan gang-gang yang berfungsi sebagai isolasi panas matahari. Hal ini juga dianut oleh Villa Isola di Bandung. Pada masa pendudukan Jepang, Gedung ini sempat digunakan sebagai kediaman sementara Jendral Hitoshi Imamura saat menjelang Perjanjian Kalijati dengan Pemerintah terakhir Hindia Belanda di Kalijati, Subang, Maret 1942. Gedung ini dibangun atas rancangan arsitek Belanda yang bekerja di Hindia Belanda Charles Prosper Wolff Schoemaker.

Gedung ini berarsitektur modern dengan memasukkan konsep tradisional dengan filsafat arsitektur Jawa bersumbu kosmik utara-selatan seperti halnya Gedung Utama ITB dan Gedung Sate. Orientasi kosmik ini diperkuat dengan taman memanjang di depan gedung ini yang tegak lurus dengan sumbu melintang bangunan kearang Gunung Tangkuban Perahu. Bangunan berlantai tiga, dengan lantai terbawah lebih rendah dari permukaan jalan raya, disebabkan karena topografinya tidak rata. Ranah sekeliling luas terbuka, dibuat taman yang berteras-teras melengkung mengikuti permukaan tanahnya. Sudut bangunan melengkung-lengkung membentuk seperempat lingkaran. Secara keseluruhan bangunan dan taman bagaikan air bergelombang yang timbul karena benda jatuh dari atasnya, sehingga gedung ini merupakan penyesuaian arsitektural antara bangunan terhadap lingkungan.




0 komentar:

Posting Komentar

Menu

--

Perhatian

Maaf para pengunjung jika tak nyaman dengan blog ini !`

Bergabunglah Bersama Newbie Blogger`

Featured Posts

 

©Copyright 2011 Coretan Newbie` | TNB